Yayasan Kebudayaan Rancagé adalah lembaga nirlaba yang bergerak dalam pengembangan kebudayaan daérah. Lembaga ini lahir atas prakarsa Ajip Rosidi (1938—2020), tokoh sastera Indonésia. Pada tahun 1989, atas inisiatif pribadi, Ajip Rosidi memberikan hadiah sastera kepada penulis buku berbahasa Sunda yang diberi nama "Hadiah Sastera Rancagé". Langkah ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan masyarakat. Pada tahun 1993 berdirilah Yayasan Kebudayaan Rancagé. Yayasan ini kemudian memperluas program kerjanya pada berbagai kegiatan pengembangan dan pelestarian kebudayaan daérah di Indonésia.
Pada tahun 1989, Ajip Rosidi yang ketika itu menjadi guru besar tamu di Osaka Gaidai, Jepang, dengan merogoh kantong sendiri, memprakarsai pemberian Hadiah Sastera Rancagé bagi karya Sastera dan Sasterawan Sunda yang diumumkan setiap tanggal 31 Januari. Prakarsa tersebut mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat Sunda dan sejak itu hadiah tersebut selalu diberikan setiap tahun. Selama lima tahun pertama pemberian hadiah itu dikelola dan didanai oleh Ajip Rosidi sendiri. Hadiah Sastera Sunda tersebut secara signifikan turut mempengaruhi sikap masyarakat Sunda terhadap bahasa dan Sasteranya sendiri.
Menyadari bahwa pemberian hadiah dengan cara demikian hanya mungkin berjalan selama Ajip Rosidi masih hidup, lingkungan dekat dan keluarganya berupaya agar pemberian hadiah tersebut dapat terus berjalan mengatasi batas usia manusia. Pada hemat mereka, sebuah yayasan perlu didirikan. Oleh karena itu, pada tahun 1993--lima tahun setelah pemberian hadiah Sastera yang pertama, Yayasan Kebudayaan Rancagé berdiri secara resmi. Rancagé adalah kosakata Sunda yang berarti “kreatif”, Kosakata tersebut secara tepat mencerminkan jenis kegiatan yang didukung oleh yayasan tersebut selama ini. Lagi pula, Ajip Rosidi sendiri selalu memelihara komitmen yang kuat untuk mendukung pengembangan Sastera dan budaya baik di lingkungan daerah maupun di lingkungan nasional.
Sejak yayasan didirikan, Hadiah Sastera Rancagé TIDAK HANYA diberikan kepada karya-karya dan tokoh-tokoh Sastera sunda, melainkan juga dipersembahkan bagi karya-karya dan tokoh-tokoh Sastera Jawa (sejak tahun 1994), Bali (sejak tahun 1998), Lampung (sejak tahun 2008), dan Batak (sejak tahun 2015). Di samping itu, setiap tahun diberikan pula hadiah bagi buku bacaan anak-anak terbaik dalam bahasa Sunda yang terbit tahun sebelumnya, yaitu Hadiah Samsudi.
Yayasan Kebudayaan Rancagé juga memprakarsai penyelenggaraan konferensi internsional mengenai kebudayaan Sunda, yakni Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS), yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 2001 dengan tema “Pewarisan Budaya”. Salah satu hasil konferensi tersebut adalah didirikannya Pusat Studi Sunda di Bandung. Penyelenggaraan Konferensi Internasional Budaya Sunda kedua tahun 2011 dengan tema “Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global”.
Prakarsa lain yang dicetuskan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé adalah penerbitan ensiklopedi kebudayaan Sunda yang berjudul Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia , dan Budaya. Buku tersebut merupakan buku pertama dalam jenisnya diIndonesia yang kualitasnya diakui secara internasional. Terbitnya buku tersebut mendapat berbagai komentar baik dari para sarjana maupun dari pers nasional. Pada saat ini tengah dilakukan penyusunan edisi pelengkap (supplemen) ensiklopedi tersebut.
Dalam lapangan pendidikan, mulai tahun 2008 Yayasan Kebudayaan Rancagé telah memberikan anugerah kepada para guru yang berprestasi dalam budaya Sunda. Hadiah tersebut diberi nama Hadiah Hardjapamekas, mengacu kepada nama pendidik terkemuka, untuk menghormati jasa-jasanya dalam mengemban profesi tersebut sepanjang hayatnya.
Yayasan Kebudayaan Rancagé berupaya memelihara dan mengembangkan kembali kebudayaan daérah sebagai tanggapan atas ancaman melunturnya kepedulian masyarakat terhadap bahasa, sastera dan kebudayaannya sendiri. Upaya ini diselenggarakan atas usaha yayasan atau bekerja sama dengan lembaga lain. Secara umum, kegiatan Yayasan Kebudayaan Rancagé terdiri dari:
Hadiah Sastera Rancagé diberikan setiap tahun mulai tahun 1989 sampai sekarang secara terus-menerus. Pada tahun pertama, hadiah diberikan hanya kepada pengarang yang tahun sebelumnya menerbitkan buku karya sastera yang berkualitas. Tapi sejak tahun kedua (1990), hadiah diberikan juga kepada orang atau lem baga yang besar jasanya dalam mengembangkan dan mempertahankan kehidupan bahasa dan sastera dalam bahasa ibunya. Dengan demikian, setiap tahun diberikan dua Hadiah Sastera Rancagé, satu untuk karya dan untuk jasa. Artinya, Hadiah Sastera Rancagé untuk sastera Sunda sudah berlangsung selama tiga puluh tiga tahun terus-menerus. Tahun 1994, Rancagé mulai memberikan hadiah untuk sastra Jawa, kemudian sastra Bali (mulai 1998), sastra Lampung (mulai 2008), sastra Batak (mulai 2015), sastra Banjar (mulai 2017), dan sastra Madura (mulai 2020).
Hadiah Samsudi merupakan hadiah sastera yang diberikan kepada para pengarang bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda. Nama Hadiah Samsudi diabadikan dalam rangka menghormati almarhum Samsudi (Bandung, 1899–Bandung, 9 Mei 1987), seorang guru, pengarang cerita anak-anak, terutama dalam bahasa Sunda, penyusun buku pelajaran, pelukis, dan pencipta lagu.
{{mimdan_9aebvhbt.jpg}}Yayasan Kebudayaan Rancagé juga memberikan Hadiah Hardjapamekas kepada tiga orang guru bahasa Sunda yang mengajar di SD, SMP, dan SMA, yang dinilai berprestasi dan berusaha terus-menerus dengan berbagai upaya mengajarkan bahasa Sunda serta mengajak para siswanya mencintai dan mempergunakan bahasa Sunda. Hadiah Hardjapamekas sudah berlangsung selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 2008 hingga sekarang. Hadiah itu diberi nama Hadiah Hardjapamekas, mengacu kepada nama pendidik terkemuka dalam rangka menghormati jasa-jasa R. Sobri Hardjapamekas (1913–2005) yang mengemban profesi guru sampai akhir hayatnya.
Yayasan Kebudayaan Rancage telah melaksanakan Konferensi Internasional Budaya Sunda I (KIBS I) pada 22-25 Agustus 2001 di Gedung Merdeka, Bandung dengan tema “Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi.” KIBS I dihadiri oleh 634 peserta, menyajikan 75 makalah dari dalam dan luar negeri. Dalam rentang sepuluh tahun setelah Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS I), berbagai upaya pemertahanan dan pengembangan budaya Sunda telah banyak dilakukan baik dalam jalur formal maupun informal, di antaranya pendirian
Yayasan Pusat Studi Sunda, yang selain melakukan penelitian mengenai kesundaan, juga mendirikan Perpustakaan Ajip Rosidi yang dapat diakses oleh para peneliti maupun masyarakat. Yayasan Kebudayaan Rancagé juga telah menyelenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda ke-2 (KIBS) pada 19–22 Desember 2011 di Gedung Merdeka, Bandung dengan tema “Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global”. KIBS ke-2 dihadiri oleh 750 peserta dan menyajikan 80 makalah dari dalam dan luar negeri.
Setiap bahasa ibu di Indonesia, memiliki permasalahan yang sama, yaitu merasakan kemunduran, sulit mengimbangi perkembangan zaman, dan serangan kosakata dari bahasa nasional dan asing. Masalah-masalah inilah yang seringkali dibahas pada seminar, kongres, saresehan, atau perbincangan di antara pemerhati bahasa. Kebijakan UNESCO tentang pencanangan Hari Bahasa Ibu Internasional, mungkin memberi semangat untuk memperkuat eksistensi bahasa ibu. Tetapi hal itu tidak serta-merta menjadikan bahasa daerah lebih berkembang.
Menurut data dari Summer Institute of Linguistic (SIL) tahun 2005, tercatat bahwa dari 706 bahasa ibu yang ada di Indonesia, hanya 13 bahasa ibu saja yang berpenutur di atas satu juga, yakni: Jawa (75 juta), Sunda (25 juta), Indonesia (17 juta), Madura (13 juta), Minangkabau (6,5 juta), Bali (3,8 juta), Bugis (3,5 juta), Aceh (3 juta), Betawi (2,7 juta), Sask (2,1 juta), Batak Toba (2 juta), Makasar (1,6 juta), dan Batak Dairi (1,2 juta).
Agar bahasa ibu atau bahasa daerah di Indonesia dapat berkembang dan tetap digunakan oleh penuturnya selaras dengan perkembangan zaman, maka diperlukan upaya revitalisasi bahasa daerah oleh para penuturnya. Berangkat dari kondisi tersebut, Yayasan Kebudayaan Rancagé berinisiatif untuk mendukung pengembangan dan pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah, dengan menyelenggarakan Konferensi Nasional Bahasa Daerah (KNBD) se-Indonesia, yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2016.