Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I

Téma: Pewarisan Budaya Sunda di Tengah Arus Globalisasi
Waktu: 22—25 Agustus 2001
Tempat: Gedung Merdeka, Bandung

Latar Belakang

Di antara negara dan bangsa di dunia, Indonesia adalah salah satu yang mempunyai budaya yang sangat beragam. Keberagaman itu dilembagakan dalam lambang negara ”Bhineka Tunggal Ika” — Beragam macam nama satu jua. Tapi keberagaman itu, wlaupun sering dibangga-banggakan secara verbal, tidak pernah secara konseptual dan berencana dijaga dan dipelihara bahkan dikalahkan oleh jargon ”persatuan dan kesatuan” yang bersifat monolitis, tapi yang juga tak pernah diuraikan secara konseptual.

Orang-orang asing banyak yang mengakui keunggulan kebudayaan dan kesenian peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia, baik yang berupa seni musik (karawitan, tembang dll), seni rupa (batik,lukisan kaca, ukiran dll), seni pertunjukan (tari, wayang, teater tradisional, dll), seni sastera (lisan dan tulisan dll). Banyak orang asing yang sengaja datang untuk belajar dan mempelajari atau meneliti berbagai macam kesenian tradisional Indonesia, tapi orang Indonesia sendiri kian berkurang minatnya terhadap kekayaan budaya peninggalan leluhurnya, karena kepincut oleh berbagai bentuk seni pop yang dalam arus globalisasi menyerbu dari berbagai penjuru melalui berbagai media komunikasi yang serba canggih, sementara kesempatan untuk belajar mengapresiasikan kesenian tradisional nenek moyang kian langka karena dengan terjadinya disintegrasi dalam masyarakat orang kian jarang menanggap kesenian tradional yang dahulu biasa ditanggap kalau hajatan.

Pemerintah Republik Indonesia sendiri, sejak berdiri, melalui zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, tidak pernah menunjukkan perhatian terhadap kebudayaan secara serius. Tidak pernah ada kebijaksanaan pemerintah yang menempatkan kebudayaan, termasuk kesenian, sebagai suatu yang penting, walaupun dalam berpidato, para pejabat dan pemimpin politik sering membangga-banggakan diri sebagai bangsa yang berkebudayaan luhur berdasarkan peninggalan nenek moyangnya. Mereka mengira kebudayaan, termasuk kesenian, sebagai sesuatu yang statis, sebagai sesuatu yang sudah jadi dan tetap keadaannya tanpa proses kreatif, dan memperlakukannya sebagai benda warisan yang sekali-sekali dapat dikeluarkan untuk dibangga-banggakan kalau diperlukan, terutama untuk menarik dolar para pelancong. Mereka tidak pernah mengerti dan menyadari bahwa kebudayaan, terutama kesenian itu selalu berkembang dan berperan dalam kehidupan bangsa dan negara sesuai dengan kreativitas manusia-manusianya pada setiap zaman.

Kebudayaan terutama kesenian hanya dijadikan komoditi yang dapat dijual melalui industri pariwisata. Tidak pernah ada konsep, apalagi rencana, konon pula pelaksanaannya yang menempatkan kebudayaan termasuk kesenian, sebagai sesuatu yang integral dalam pembangunan bangsa. Tak pernah dipikirkan apalagi dilaksanakan, usaha pewarisan kebudayaan termasuk kesenian, peninggalan nenek moyang yang unggul kepada generasi yang lebih kemudian. Akibatnya keterampilan berbudaya, termasuk kesenian secara cepat dan tetap kian menghilang, begitu juga apresiasi terhadapnya.

Masalah

Maka masalah utama yang dihadapi oleh suku-suku bangsa di Indonesia, termasuk suku bangsa Sunda, ialah bagaimana mewariskan nilai-nilai dan keterampilan budaya dalam masyarakat yang sudah dilanda guncangan-guncangan sosial yang menyebabkan terputusnya akar-akar tradisi yang selama ini menyangganya.

Masalahnya tidaklah hanya hilangnya keterampilan para seniman dan para tukang saja, melainkan juga hilangnya kemampuan masyarakat menghargai daya cipta mereka. Para seniman tradisional bukan saja kehilangan keempuan, melainkan juga kehilangan penonton yang menghargai karya seni mereka.

Masyarakat yang sudah diterjang oleh arus globalisasi dengan masuknya berbagai bentuk kesenian yang dikemas secara modern dengan modal besar, tidak lagi mempunyai minat untuk mengapresiasi kesenian tradisonal betapapun tinggi nilainya, karena mereka kehilangan kesempatan untuk belajar mengapresiasinya sejak kecil.

Adalah ironis, bahwa pada satu pihak kita melihat kian banyaknya para ahli mancanegara yang mempelajari dan mendalami berbagai bentuk kesenian tradisional itu, tetapi pada pihak lain, para seniman tradisional sendiri tidak dapat bertahan hidup dalam bidang keseniannya, karena minat dan penghargaan masyarakat terhadap keseniannya kian mengecil, bahkan menghilang. Juru pantun kian langka karena tak ada yang berminat menanggapnya lagi, meskipun di antaranya ada yang mencoba bertahan dengan memasuk­kan unsur-unsur hiburan seperti lagu selingan oleh pasinden dengan iringan gamelan lengkap.

Para dalang topeng, dalang wayang kulit maupun wayang golek papak di daerah Indramayu, Cirebon, dan Majalengka tidak lagi ditanggap oleh orang-orang yang hajatan. Kalaupun ditanggap, mereka akan diserbu oleh anak-anak muda yang menyuruhnya berhenti main dan menukar acaranya dengan lagu-lagu dangdut agar mereka bisa leluasa berjoget.

Para dalang itu tak mempunyai wibawa untuk menolak dan mempertahankan kesenian leluhurnya. Mereka harus mengikuti permintaan para anak muda yang seperti berasal dari dunia yang lain. Dangdut yang dipopulerkan dengan dukungan modal-besar melalui kaset-kaset yang diproduksi secara besar-besaran, disiarkan melalui stasion radio dan televisi, mem­buat kesenian lokal seperti tarling, topeng, wayang, reog, dan lain-lain menjadi tak berdaya.

Sementara kesempatan masyarakat untuk menyaksikan tarling, topeng, wayang, dan lain-lain itu kian langka karena kian sedikit orang hajatan yang menanggapnya, dangdut dan berbagai bentuk kesenian lainnya yang didukung modal-besar setiap saat terus-terusan menyerbu telinga dan mata setiap orang melalui radio, kaset, layar televisi dan entah apa lagi, selama 24 jam setiap hari.

Tak ada usaha untuk membina apresiasi anak-anak terhadap kesenian tradisional dengan, misalnya, menyediakan gedung khusus untuk mempertunjukkannya hingga setiap waktu orang dapat menyaksikan. Kalau sekali-sekali diadakan di hotel berbintang, biasanya disediakan buat para turis asing. Kesenian tradisional dikemas untuk dijual kepada para turis, tapi tak ada yang ingat untuk memupuknya agar hidup di lingkungannya sendiri. Padahal kalau kesenian itu mati di lingkungan sendiri, maka tidak akan ada lagi yang bisa dijual kepada turis.

Berlainan dengan di Bali, di Jawa Barat tak ada lembaga banjar, yang merupakan tempat pembinaan seniman dan apresiasi terhadap kesenian tradisional.

Ensiklopedi Sunda

Penyusunan ensiklopedi pertama tentang etnik di Indonesia, memberi kesempatan kepada terutama orang-orang Sunda sendiri untuk mengenal sejarah, adat, kekayaan ruhani, kesenian, kesusasteraan, lingkungan, dan lain-lain warisan nenek moyangnya. Tetapi penerbitan Ensiklopedi Sunda tidaklah memecahkan masalah bagaimana agar nila-nilai dan budaya Sunda yang pernah ada itu diwariskan kepada generasi muda dan yang akan datang.

Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)

Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih mendalam di kalangan para ahli dan praktisi, karena itu terasa mendesak untuk diselenggarakannya sebuah pertemuan yang membahas hal tersebut dan yang memberi kesempatan kepada para seniman, guru, birokrat, pemuka masyarakat Sunda, dan para wartawan mendengarkan dan memberikan pendapatnya di depan para ahli yang telah mempelajari dan mendalami bidang-bidang tertentu budaya Sunda. Karena banyak ahli yang mendalaminya itu orang asing, maka mereka patut diundang untuk memberikan pendapatnya.

Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) merupakan salah satu usaha untuk mengatasi persoalan mendesak itu.

Karena itulah Yayasan Kebudayaan ”Rancagé” menganggap perlu menyelenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) yang akan membahas masalah kebudayaan dan pewarisannya secara mendalam yang melibatkan para ahli kebudayaan Sunda, termasuk para pakar dari luar dan dalam negeri, dan mengundang para seniman serta praktisi, para guru, birokrat, pemuka masyarakat, pemuka agama, wartawan, terutama para pemuda termasuk mahasiswa.

Penyelenggara berharap KIBS akan melahirkan pencerahan dan pemikiran tentang bagaimana supaya nilai-nilai dan keterampilan budaya tradisional Sunda yang ada jangan sampai kikis sama sekali, malah menjadi warisan generasi muda sehingga dapat memperkaya kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

KIBS diharapkan akan mampu membangkitkan kesadaran baru masyarakat mengenal dan menyadari arti kebudayaan tradisional Sunda dalam membangun dan memperkaya kehidupan kita sebagai bangsa dan bagaimana merumuskannya kepada generasi kemudian.

Disampaikan oleh Ketua Yayasan “Rancagé”, Ajip Rosidi, dalam Konferensi Pers tanggal 20 Maret 2001 di Bandung.

Tanggal Penting

30 Oktober 2021

Batas Akhir Pengiriman Abstrak

17 Novémber 2021

Pengumuman Abstrak Terpilih

1 Desember 2021

Batas Akhir Pendaftaran Peserta

1—3 Désémber 2021

Pelaksanaan KIBS III